Permasalahan sampah di Indonesia bukanlah isu baru, namun hingga kini masih menjadi pekerjaan rumah yang rumit. Setiap tahun, jumlah timbunan sampah nasional terus meningkat seiring bertambahnya jumlah penduduk dan aktivitas konsumsi masyarakat. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat, Indonesia menghasilkan lebih dari 68 juta ton sampah per tahun, dan sekitar 60% di antaranya berasal dari rumah tangga. Angka ini mencerminkan betapa pentingnya perubahan perilaku masyarakat sekaligus penguatan kebijakan pemerintah untuk mengatasi persoalan ini.
Akar Masalah: Kebiasaan Warga yang Sulit Berubah
Salah satu faktor utama penyebab menumpuknya sampah adalah kebiasaan masyarakat yang masih enggan memilah sampah. Di banyak daerah, sampah organik dan anorganik masih bercampur dalam satu wadah. Kurangnya kesadaran akan dampak jangka panjang dari sampah membuat sebagian warga menganggap remeh tindakan sederhana seperti memisahkan plastik dari sisa makanan. Padahal, kebiasaan kecil ini dapat mengurangi beban tempat pembuangan akhir (TPA) dan mempercepat proses daur ulang.
Kebiasaan membuang sampah sembarangan juga masih kerap ditemui, terutama di sungai dan laut. Fenomena ini bukan hanya merusak ekosistem perairan, tetapi juga berdampak pada kehidupan nelayan dan pariwisata. Indonesia bahkan sempat dinobatkan sebagai salah satu penyumbang sampah plastik ke laut terbesar di dunia. Hal ini menunjukkan perlunya perubahan pola pikir masyarakat tentang tanggung jawab kolektif terhadap lingkungan.
Infrastruktur dan Sistem Pengelolaan yang Belum Merata
Selain perilaku masyarakat, masalah sampah juga diperparah oleh infrastruktur pengelolaan yang belum merata. Kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung memiliki fasilitas daur ulang dan TPA modern yang relatif lebih baik, tetapi banyak daerah lain masih mengandalkan metode open dumping atau pembuangan terbuka. Akibatnya, sampah menumpuk tanpa pengolahan memadai, menimbulkan bau tak sedap, polusi udara, hingga pencemaran tanah dan air tanah.
Sistem pengangkutan sampah juga sering terkendala, baik karena keterbatasan armada maupun manajemen yang kurang efektif. Di beberapa desa, warga bahkan harus mengelola sampah mereka sendiri tanpa dukungan fasilitas resmi. Ini memicu praktik pembakaran sampah yang menghasilkan emisi berbahaya bagi kesehatan.
Kebijakan Pemerintah: Antara Ambisi dan Realita
Pemerintah Indonesia sebenarnya telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk menangani masalah sampah. Target ambisius pun telah dicanangkan, yakni mengurangi 30% timbunan sampah dan menangani 70% sampah pada 2025. Berbagai program seperti bank sampah, gerakan memilah sampah dari rumah, hingga larangan kantong plastik sekali pakai di beberapa daerah telah berjalan. Namun, realisasinya masih menghadapi tantangan besar, terutama dalam hal pengawasan dan konsistensi implementasi.
Salah satu contoh kebijakan progresif adalah penerapan Extended Producer Responsibility (EPR), yang mewajibkan produsen bertanggung jawab atas sampah dari produk mereka. Namun, kebijakan ini masih terbatas pada perusahaan besar dan belum merata di sektor UMKM. Padahal, jika dilaksanakan secara menyeluruh, EPR dapat menjadi solusi penting untuk mengurangi beban TPA.
Di sisi lain, edukasi publik juga menjadi fokus utama pemerintah dan LSM. Berbagai kampanye telah dilakukan untuk mengajak masyarakat berpartisipasi dalam pengelolaan sampah. Situs informasi seperti https://dlhbali.id/ turut berperan dalam memberikan wawasan tentang program daur ulang, regulasi terbaru, dan tips praktis untuk mengurangi sampah di tingkat rumah tangga.
Dampak Lingkungan dan Sosial yang Tidak Bisa Diabaikan
Masalah sampah bukan hanya soal estetika kota atau kenyamanan hidup sehari-hari. Dampaknya jauh lebih serius, mulai dari pencemaran tanah, air, hingga udara. Sampah plastik, misalnya, dapat bertahan ratusan tahun di alam dan melepaskan mikroplastik yang akhirnya masuk ke rantai makanan manusia. Sampah organik yang tidak dikelola dengan benar juga menghasilkan gas metana, salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca yang memicu perubahan iklim.
Secara sosial, keberadaan TPA yang tidak terkelola dengan baik kerap menimbulkan konflik dengan masyarakat sekitar. Bau menyengat, polusi air, serta potensi penyakit menjadi masalah yang dihadapi warga yang tinggal dekat lokasi pembuangan. Situasi ini semakin memperlihatkan urgensi untuk membangun sistem pengelolaan yang lebih modern dan ramah lingkungan.
Harapan ke Depan: Kolaborasi Semua Pihak
Mengatasi persoalan sampah tidak bisa hanya mengandalkan satu pihak saja. Pemerintah, swasta, komunitas, dan individu perlu bersinergi. Pendidikan lingkungan harus dimulai sejak usia dini agar kebiasaan memilah sampah menjadi budaya. Selain itu, perusahaan perlu didorong untuk menggunakan bahan ramah lingkungan dan sistem daur ulang dalam proses produksi mereka.
Inovasi teknologi juga memiliki peran penting. Beberapa daerah telah mencoba memanfaatkan sampah menjadi energi listrik atau bahan bakar alternatif. Jika dikembangkan lebih luas, pendekatan ini bisa menjadi solusi ganda: mengurangi sampah sekaligus menyediakan energi terbarukan.
Akhirnya, kesadaran individu tetap menjadi fondasi utama. Perubahan sederhana seperti membawa tas belanja sendiri, mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, hingga memanfaatkan platform edukasi seperti https://dlhbali.id/ dapat memberikan dampak besar jika dilakukan secara kolektif. Dengan langkah-langkah konkret dan berkelanjutan, Indonesia dapat bergerak menuju masa depan bebas dari krisis sampah, sekaligus menjaga kelestarian lingkungan untuk generasi mendatang.